Belajar dari Kasus Reynhard Sinaga, Saatnya Reformulasi Pengaturan Perkosaan


Kolom

Senin, 13 January 2020

Belajar dari Kasus Reynhard Sinaga, Saatnya Reformulasi Pengaturan Perkosaan Oleh: Nefa Claudia Meliala*)

​​​​​​​Jangan sampai pelaku menjadi tidak dapat dijerat karena aturan hukum yang memang tidak memadai.
RED
Nefa Claudia Meliala. Foto: Istimewa
Beberapa waktu belakangan publik dikejutkan dengan mencuatnya kasus Reynhard Sinaga ke permukaan. Pemuda berusia 36 tahun ini menjadi perbincangan karena terlibat dalam 159 kasus kekerasan seksual di mana 136 kasus di antaranya adalah kasus perkosaan. Kejahatan ini terjadi sepanjang tahun 2015 hingga 2017.

Diduga 190 orang menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan Reynhard dan 48 orang di antaranya adalah pria berusia antara 17 hingga 36 tahun yang diperkosa berkali-kali. Dalam kasus ini polisi juga menemukan bukti 193 rekaman video pemerkosaan yang dilakukan Reynhard.

Tiap kali melakukan aksinya Reynhard memberikan korban minuman keras yang telah terlebih dahulu dicampur obat bius. Para korban kemudian diperkosa saat sudah tak sadarkan diri. Kasus ini akhirnya terbongkar karena pada bulan Juni 2017 salah satu korban terbangun saat diperkosa, lalu melaporkan perbuatan Reynhard ke polisi.

Setelah melalui proses hukum, Reynhard akhirnya divonis hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Manchester. Keseluruhan proses hukum atas kasus ini berlangsung di Inggris. Apa jadinya kalau kasus ini terjadi di Indonesia?  

Ketentuan Pasal 285 KUHP mengatur perkosaan secara sangat sempit
KUHP sesungguhnya tidak mengenal terminologi kekerasan seksual. Istilah yang digunakan dalam KUHP adalah Kejahatan Terhadap Kesusilaan yang diatur dalam Bab XIV Pasal 281 sampai Pasal 303 KUHP. Beberapa kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur dalam bab ini di antaranya adalah perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP dan perbuatan cabul yang diatur dalam Pasal 289 sampai Pasal 296 KUHP.

Pasal 285 KUHP menyatakan: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Dengan membaca ketentuan pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana perkosaan.

  • Pertama, perkosaan mensyaratkan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan yang dalam hal ini dilakukan oleh pelaku kepada korban secara paksa;
  • Kedua, perkosaan hanya dapat dilakukan oleh seorang pria (pelaku) terhadap seorang wanita (korban);
  • Ketiga perkosaan diartikan secara sangat sempit sebagai persetubuhan, yaitu penetrasi penis terhadap vagina sebagai konsekuensi dari pemikiran bahwa perkosaan hanya dapat dilakukan oleh seorang pria (pelaku) terhadap seorang wanita (korban); dan  
  • Keempat, perkosaan hanya dapat dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita, dimana keduanya tidak terikat perkawinan.  
Dalam perkembangannya, pengaturan perkosaan dalam ketentuan pasal ini menuai banyak kritik karena dianggap sudah usang dan tidak memadai lagi terutama apabila dikaitkan dengan modus operandi perkosaan yang terus berkembang.

Beberapa kritik terhadap Pasal 285 KUHP
Pertama, KUHP tidak secara eksplisit menjelaskan apa yang dimaksud dengan “kekerasan atau ancaman kekerasan”. Apabila menggunakan tafsir otentik, ketentuan pasal 89 KUHP hanya sebatas menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.”

Dengan mengacu pada ketentuan pasal tersebut, berbagai doktrin dan putusan pengadilan berpandangan bahwa pada prinsipnya unsur “kekerasan” dalam ketentuan pasal ini diartikan sebagai kekerasan secara fisik, seperti misalnya menyeret, memukul, membanting tubuh korban atau mengikat kaki dan atau tangan korban agar korban tidak dapat melawan.

Unsur kekerasan ini dalam praktik juga kerap kali ditafsir sebagai kekerasan secara fisik yang menimbulkan luka pada tubuh korban yang kemudian harus dibuktikan berdasarkan visum et repertum. Pemahaman sempit ini menimbulkan masalah karena terdapat kemungkinan korban baru melapor berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah kejadian sehingga luka fisik yang dialaminya sudah sembuh atau bahkan hilang sama sekali.

Kemudian terkait unsur “ancaman kekerasan”, dalam praktik penegakan hukum, unsur ini juga kerap kali masih diartikan secara sempit sebatas ancaman untuk menggunakan kekerasan terhadap korban, seperti misalnya ancaman akan dipukul atau dibunuh. Sementara itu, bentuk-bentuk ancaman terhadap korban perkosaan terus berkembang, terutama dalam konteks dimana terdapat relasi kuasa antara pelaku dan korban.

Misalnya, seorang mahasiswi diancam tidak akan diluluskan oleh dosennya apabila menolak melakukan persetubuhan dengannya atau seorang wanita yang diancam akan disebarkan aibnya apabila menolak untuk bersetubuh dengan pelaku. Bentuk- bentuk ancaman seperti itu tidak terkait dengan penggunaan kekerasan fisik, namun tetap memiliki dampak psikologis yang besar pada diri korban sehingga korban merasa tertekan dan akhirnya terpaksa bersetubuh dengan pelaku.

Kedua, apabila membaca ketentuan pasal 285 KUHP, perkosaan tidak mungkin dilakukan terhadap seorang laki-laki karena pasal 285 KUHP sendiri secara tegas menyatakan yang dapat menjadi korban perkosaan hanyalah wanita. Mengacu pada KUHP, dalam hal terjadi kasus di mana korbannya adalah laki-laki, pelaku tidak dapat dijerat ketentuan pasal 285 KUHP tentang perkosaan namun bisa dijerat dengan ketentuan pasal 289 tentang perbuatan cabul yang sanksi pidanya lebih ringan.

Pasal 289 KUHP menyatakan: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Dengan mengacu pada berbagai doktrin, perbuatan cabul diartikan sebagai segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya ciuman, meraba-raba kemaluan dan sebagainya.

Ketentuan pasal ini tidak membatasi siapa saja yang dapat menjadi pelaku maupun korban, sehingga perbuatan cabul yang dimaksud dapat dilakukan baik oleh laki-laki terhadap perempuan, perempuan terhadap laki-laki, laki-laki terhadap laki-laki, maupun perempuan terhadap perempuan.

Ketiga, perkosaan dalam ketentuan pasal 285 KUHP diartikan secara sempit sebagai persetubuhan. Sebagai konsekuensi dari pemikiran bahwa perkosaan hanya dapat dilakukan oleh seorang pria (pelaku) terhadap seorang wanita (korban), persetubuhan yang dimaksud kemudian diartikan secara sempit sebagai penetrasi penis terhadap vagina.

Pemahaman ini tentu mengesampingkan fakta bahwa sesungguhnya perkosaan dapat juga dilakukan dalam bentuk-bentuk lain seperti oral atau anal sex, atau bahkan menggunakan alat-alat lain yang bukan anggota tubuh. Seandainya kasus-kasus di luar persetubuhan itu terjadi, kita menghadapi persoalan baru karena perbuatan-perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perkosaan.

Keempat, logika berpikir yang dibangun dalam ketentuan pasal 285 KUHP ini adalah perkosaan hanya dapat terjadi apabila wanita korban perkosaan tidak terikat perkawinan dengan pria pelaku perkosaan. Apabila mengikuti cara berpikir ini,seorang wanita yang terikat dalam suatu perkawinan seolah-olah dianggap telah memberikan persetujuan kepada suaminya untuk melakukan hubungan seksual dalam kondisi apapun.

Dalam perspektif yang lebih progresif, makna perkosaan seharusnya diperluas hingga mencakup perkosaan dalam perkawinan (marital rape) karena sesungguhnya dalam perkosaan korban berada di bawah tekanan atau paksaan untuk melakukan persetubuhan dan korban dalam hal ini dapat juga mencakup wanita (istri) yang terikat dalam suatu perkawinan.

Apabila kita berandai-andai menggunakan kacamata pasal 285 KUHP, kasus Reynhard praktis tidak dapat dikategorikan sebagai perkosaan. Dalam kasus ini memang terdapat kekerasan yang dilakukan pelaku terhadap korban. Tindakan pelaku memberikan korban minuman keras yang telah terlebih dahulu dicampur dengan obat bius sehingga korban tak sadarkan diri merupakan bukti bahwa para korban berada dalam paksaan dan tidak mampu menolak perbuatan pelaku.

Persoalan kemudian muncul karena seluruh korban dalam kasus ini adalah pria sehingga secara otomatis unsur “persetubuhan” yang dimaksud dalam ketentuan pasal 285 KUHP juga tidak terpenuhi. Dengan demikian, apabila kasus ini terjadi dan diproses di Indonesia, Reynhard tidak dapat dianggap telah melakukan perkosaan. Reynhard hanya dapat didakwa dengan pasal perbuatan cabul dengan sanksi pidana yang lebih ringan.  

Pengaturan Perkosaan dalam Hukum Pidana Indonesia Harus Direformulasi
Belajar dari Kasus Reynhard dan menyikapi modus operandi perkosaan yang terus berkembang, pengaturan perkosaan dalam hukum pidana Indonesia harus direformulasi agar jangan sampai pelaku menjadi tidak dapat dijerat karena aturan hukum yang memang tidak memadai.

Rancangan KUHP dan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang pembahasannya masih terus bergulir harus disinkronisasi agar pengaturan perkosaan dalam kedua undang-undang ini tidak menjadi tumpang tindih dan diharapkan mampu menjawab berbagai kritik terhadap pengaturan perkosaan dalam KUHP saat ini yang masih jauh dari memadai.  

Kritik kaum feminis pada akhirnya mendorong reformasi hukum pengaturan perkosaan di beberapa negara. Pendekatan paling progresif yang saat ini muncul adalah mulai dilihatnya perkosaan sebagai tindak pidana yang menyerang integritas tubuh sehingga konsep “persetujuan korban” dalam tindak pidana perkosaan perlahan-lahan ditinggalkan dan beralih pada penekanan keadaan-keadaan dimana korban mengalami paksaan, kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, bujuk rayu, intimidasi dan lain sebagainya sebagai elemen utama perkosaan di samping unsur penetrasi seksual yang juga diartikan secara lebih luas.

Pendekatan ini pada akhirnya menghasilkan sebuah perubahan paradigma berpikir yang menyimpulkan bahwa tindak pidana perkosaan tidak tepat lagi diletakkan dalam bab kejahatan terhadap kesusilaan dan lebih tepat dikelompokkan sebagai bagian dari kejahatan terhadap nyawa dan tubuh.

Nefa Claudia Meliala adalah Pengajar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Catatan Redaksi:


Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan dalam program Hukumonline University Solution.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beberapa Catatan Mengenai Unsur “Sengaja” dalam Hukum Pidana

Berkaca dari Kasus Nuril, UU ITE Masih Rawan Kriminalisasi

Pidana Langgar ”Social Distancing”